MEMBANGUN
KEMANDIRIAN BANGSA
DAFTAR
ISI
Daftar Isi i
Bab 1 Pendahuluan 1
1.1
Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3
Rumusan Masalah 2
Bab 2 Pembahasan 3
2.1
Pengertian Kemandirian 3
2.2
Kemandirian Bangsa Sebagai Keniscayaan 4
2.3 Pembangunan Bangsa Yang
Berkarakter 7
2.4
Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa 8
2.5
Unsur Pokok Kemandirian Bangsa 14
2.6
Peran Generasi Muda Dalam Pembangunan Bangsa Mandiri 16
2.7
Pertumbuhan Ekonomi Menuju Kemandirian Bangsa 18
Bab 3 Penutup 22
3.1
Kesimpulan 22
3.2
Saran 22
Daftar Pustaka 23
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya makhluk hidup di
muka bumi ini tidak terlepas dari adanya ketergantungan dan keterkaitan antara
satu dengan yang lainnya dan juga dengan lingkungannya. Namun, diatas
ketergantungan dan keterkaitan itu, Allah menciptkan keteraturan, dimana pada
posisi ini akan tercapai suatu keseimbangan, sehingga setiap unsur atau makhluk
hidup dalam kondisi hidup yang seimbang dengan lingkungan yang dihuninya.
Proses keteraturan itu analog dengan proses terciptanya kemandirian bagi
manusia, dan biasanya kemandirian ini diperoleh setelah dewasa. Pada usia
dewasa inilah manusia bisa mandiri dalam banyak hal termasuk dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Sudah barang tentu proses menuju kemandirian cepat
atau lambat, sangat ditentukan oleh cepat atau lambat berkurangnya tingkat ketergantungan dan
keterkaitan, sehingga pada gilirannya terwujudlah kemandirian.
Membngun kemandirian bangsa berarti
memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu
menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dengan umur bangsa yang sebentar lagi
berulang tahun ke 63, sudahkan bangsa ini mandiri? Sudahkah Bangsa ini
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera ? Dan sudahkan bangsa ini
memiliki martabat yang sehingga tidak lagi ada bangsa lain yang melecehkan?
Maka sangat penting kiranya membangun bangsa yang mandiri ditengah pergaulan
dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia dan di era globalisasi yang
sangat berpengaruh ini.
Dari sisi usia sejak negeri ini merdeka,
seharusnya sudah mampu menjadi negara yang tidak terlalu tergantung pada belas
kasihan negara lain, tidak terlalu terpengaruh kondisi gejolak financial di
negara lain dalam roda perekonomian dan seharusnya juga memiliki kebanggaan
atas produk yang dihasilkan sendiri sebagai pembuktian atas kemampuan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.2 Tujuan



1.3 Rumusan Masalah
v
Bagaimana cara membentuk kemandirian bangsa
v
Bagaimana cara bangsa Indonesia melawan
pengaruh globalisasi dalam pembentukkan karakter bangsa
v
Bagaimana pertumbuhan ekonomi bangsa
Indonesia menuju bangsa yang mandiri
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KEMADIRAIAN
Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982) dalam Mu’tadin, Z
meliputi “Perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi masalah/hambatan,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali yang
mengatakan bahwa “Kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu
bagi diri sendiri”. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian
mengandung pengertian suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing
untuk maju demi kebaikan dirinya. Dengan demikian akan berperilaku yang :
1. mampu menganbil keputusan dan inisiatif
untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
2. memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan
tugas-tugasnya,
3. bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya.
Dalam konteks kebangsaan, bangsa
yang mandiri itu artinya bangsa yang mampu berdiri di atas kekuatan sendiri
dengan segala sumberdaya yang dimiliki, mampu memecahkan persoalan yang
dihadapi dan mampu mengembangkan inovasi dan riset di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi yang akhirnya memiliki keunggulan dan daya saing. Hal ini
dipertegas oleh Robert Havighurst (1972) bahwa kemandirian terdiri dari
beberapa aspek, yaitu :
1. Emosi, aspek ini ditunjukan dengan
kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang
lain,
2. Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan
kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang
lain
3. Intelektual, aspek ini ditunjukan
dengan kemampuan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi dan kemampuan
mengembangkan daya kreasi dan inovasi.
4. Sosial, aspek ini ditunjukan dengan
kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak menunggu aksi
dari orang lain.
Memperhatikan beberapa aspek di
atas, berarti kemandirian merupakan suatu sikap yang diperoleh secara komulatif
selama perkembangan hidupnya dimana suatu bangsa akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapinya. Dengan
kemandiriannya, suatu bangsa dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat
berkembang lebih baik dan lebih mantap.
2.2 KEMANDIRIAN BANGSA SEBAGAI KENISCAYAAN
Indonesia adalah bangsa yang besar
dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat berlimpah. Namun kenyataannya,
kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan keadaan masyarakatnya dimana
masyarakat miskin masih sekitar 30% dari jumlah penduduk, angka pengangguran
masih tinggi dan kesempatan memperoleh pendidikan belum menyentuh seluruh
lapisan masyarakat. Dengan kata lain negara belum mampu memenuhi secara utuh
yang menjadi hajat hidup orang banyak, seperti harga pangan yang melambung
akibat harga minyak dunia yang tinggi, minyak goreng semakin mahal, biaya
pendidikan yang semakin tak terjangkau dan krisis energi terutama listrik
tinggal menunggu waktu. Pertanyaan kita, apakah bangsa ini akan terpuruk pada
kondisi larang pangan, larang papan, larang sekolah dan larang-larang yang
lain? Melihat kondisi SDA yang berlimpah di negeri ini sejujurnya tidak mungkin
akan terjadi tetapi kenyataanya seperti itu. Apa yang mesti dilakukan?
Jawabanya marilah kita mulai mandiri.

Globalisasi membawa dampak luas
pada berbagai bidang kehidupan terutama ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan
gejala mondial yang ditandai dengan aktivitas bisnis dan perdagangan antar
negara yang kian massif dan intensif. Globalisasi menafikan batas-batas negara
sehingga manakala terjadi gejolak ekonomi di
suatu wilayah/regional maka akan berimbas pada perekonomian wilayah lain
seperti yang terjadi saat ini ketika Amerika Serikat ditimpa kredit macet
perumahan maka dampaknya terhadap perekonomian kita juga terasa yaitu penurunan
nilai rupiah dan IHSG. Kita tidak bisa memungkiri bahwa faktor eksternal sangat
berpengaruh dalam perekonomian negara kita terutama gejolak financial dan
melambungnya harga minyak mentah dunia. Tetapi paling tidak kita harus memiliki
basic sistem perekonomian yang tahan terhadap gejolak ekonomi dunia seperti
yang contohkan oleh Thailand, Malaysia dan Korea yang sudah mampu keluar dari
krisis tahun 1997 yang lalu.
Sebenarnya kita pernah memiliki
sebuah sistem ekonomi yang disebut dengan Ekonomi Kerakyatan yang memberikan
kesempatan secara luas pada masyarkat dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi
Kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana aset ekonomi dalam perekonomian
nasional didistribusian kepada sebanyak-banyaknya warga negara (Mardi Yatmo
Hutomo, BAPENAS). Secara normatif, moral filosofis sistem ekonomi kerakyatan
sebenarnya sudah tercantum dalam UUD ‘45, khususnya pasal 33, yang jika
disederhakanakan bermakna bahwa perekonomian bangsa disusun berdasarkan
demokrasi ekonomi dimana kemakmuran rakyat banyaklah yang lebih diutamakan
dibandingkan kemakmuran orang perorangan. Kemudian, karena bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok atau sumber-sumber
kemakmuran rakyat, maka hal tersebut berarti harus dikuasai dan diatur oleh
negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga hak-hak kesejahteraan
ekonomi (economic rights) bisa terpenuhi. Yang terjadi saat ini adalah
sebaliknya, kemampuan masyarakat di dalam memenuhi hak kesejahteraannya begitu
rendahnya. Disisi lain kepemilikan modal atas corporasi yang mengekploitasi SDA
dimiliki oleh pihak asing sehingga keuntungan banyak mengalir keluar negeri.
Begitu pula dengan produk barang dan jasa, hanya dikuasi oleh segelintir orang.
Menurut Laica Marzuki
(penerapan sistem ekonomi kerakyatan), Fakta empirik menjelaskan bahwa,
Produsen barang dan jasa private jumlahnya terbatas. Yang memproduksi 78,5
persen output nasional dalam bentuk barang dan jasa private hanya oleh 200
orang warga negara. Sedang 21,5 persen output nasional diproduksi oleh jutaan
orang warga negara melalui usaha mikro, usaha kecil dan menengah. Sementara
89,5 persen tenaga kerja yang ditawarkan di pasar input dibeli oleh 99,5 persen
produsen yang outputnya hanya 21,5 persen. Sedang hanya 10,5 persen tenaga
kerja yang dibeli oleh 0,5 persen produsen yang outputnya 78,5 persen.
Sebaliknya, modal yang pergunakan oleh 0,5persen produsen mencapai sekitar 85
persen dari dari modal yang ada dalam perekonomian, dan tidak lebih dari 7
persen modal yang dipergunakan oleh 95,5 persen produsen. Dalam situasi yang
demikian, maka diduga kuat:
(1) Tidak pernah terjadi market clearing baik di
pasar input maupun di pasar output,
(2) Ada modal yang idle (nganggur) dalam
perekonomian,
(3) Ada tenaga kerja yang idle dalam
perekonomian,
(4) Perekonomian tidak efisien,
(5) Perekonomian tidak memproduksi barang dan
jasa sesuai kapasitas yang dimiliki, dan
(6) Terjadi kesenjangan ekonomi antar golongan
penduduk yang amat lebar.
Melihat kondisi bahwa sistem
kapitalisme hanya memberikan kemakmuran pada segelintir orang (globalisasi
tidak bisa melepaskan dari sisem ini), sudah saatnya pemerintah menumbuhkan
kembali semangat ekonomi kerakyatan. Semangat ini dilandasi pada distribusi
keadilan baru kemudian kemakmuran bukan sebalikya. Distribusi sumber-sumber
ekonomi yang merata akan menciptakan pendapatan yang merata pula sehingga pada
gilirannya tercipta kemakmuran.
Dengan mayoritas pelaku
ekonomi kita dalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM), sudah saatnya keberpihakan
pemerintah dan Bank terhadap usaha ini lebih diintesifkan lagi. Nampaknya usaha
pemerintah pada UKM dan rakyat kecil ini mulai terlihat pada program-program
yang bersifat pemberdayaan masyarakat (iklannya bisa kita laihat di layar TV)
dan Bank-bank juga mulai mengucurkan kredit tanpa agunan.
Bahkan Presiden sendiri dalam sebuah
kesempatan akan memperluas partisipasi masyaakat dalam kepemilikan Kredit
Usaha Rakyat (KUR). Tidak kalah
pentingnya juga keberpihakan pada para petani yang notabene menjadi mata
pencaharian dari mayoritas masyarakat Indonesia. Namun terkadang meraka juga
termasuk masyarkat yang termarginalkan karena umumnya petani kita adalah petani
penggarap, meskipun memiliki lahan tapi kurang dari 1 hektar sehingga hasilnya
setelah dikurangi biaya produksi masih kurang dalam memenuhi kebutuhan hidup
dan mebiayai pendidikan anak-anaknya. Beberap hari yang lalu di harian Kompas
diberitakan bahwa lahan persawahan di wilayah Karawang sudah banyak beralih kepemilikannya
pada orang-orang kaya dari Jakarta dan orang kaya setempat. Belum lagi
persoalan klasik pada saat musim tanam yaitu kelangkaan pupuk serta mengalami
gagal panen bila bencana banjir dan kekerangan menimpa negeri ini. Kredit Usaha
Tani (KUT) yang dikucurkan menjadikan kredit macet karena ketidakmampuan petani
melunasi pinjamannya. Revolusi Agraria seperti yang pernah menjadi wacana oleh
sebagian masyarakat barangkali bisa menjadi solusi untuk pemerataan kepemilikan
lahan meskipun gagasan ini terlalu ekstrim. Tetapi saya yakin bila pemerintah
mau meningkatkat kesejahteraan petani masih ada cara lain yang lebih elegan
seperti subsidi harga pupuk dan benih dan harga gabah yang wajar serta
merevitalisasi peran Bulog dan KUD.
2.3 Pembangunan Bangsa yang Berkarakter
Pada prinsipnya memang membangun
sebuah bangsa tidaklah cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya
suatu orientasi yang sedemikian sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam
suatu internalisasi untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya
pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat
peningkatan tata nilai sosio kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini
umumnya lebih sulit dibandingkan dengan yang pertama. Setidaknya ada 2 (dua)
argumen penting menyangkut pembangunan yang bertata nilai yakni:


Untuk lebih dapat memahami dalam
konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini akan diulas tentang
sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan karakter bangsa, potensi
potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai kemandirian bangsa yang
bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari generasi muda didalamnya.
2.4 Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa
Mantan Perdana Menteri Malaysia,
Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik
tentang pembinaan karakter suatu bangsa yakni :
§ Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka
yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh
tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya
§ Pernyataan retorik di atas tentunya
mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal.
Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang
umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat
kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom modernisasi di negara-negara
tersebut.
Sehingga pembangunan dan pembinaan
karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan
sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan
pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan
karakter manusianya. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh
dari kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam
bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah
teknologi informasi dan telekomunikasi. KeduaÂ
jenis teknologi ini secara sangat radikal telah mengakselerasi proses
interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya
amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa atau lazim dikenal dengan
globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya sudah ada dalam proses amalgamasi
kepentingan antar manusia dari jaman dahulu kala adalah daya saing atau
competitiveness.
Menurut Michael Porter (1999),
dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation),
pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas
dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21
sekarang ini.
Gambar
1. Model rantai nilai Daya Saing (dimodifikasi dari Porter, 1999)
Peran daya saing dalam menjadikan
suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan
tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing
di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi
informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat
sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu
entitas dibandingkan dengan entitas lainnya. Keunggulan yang dimaksud di atas,
nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti
keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain.
9.
Daya
saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang
dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning
(diberikan pada gambar 1). Dalam alur proses rantai nilai tersebut terdapat dua
hal yang sangat prinsipil yaitu (gambar 1):
Ø Pertama: peran daya saing dalam menentukan
keunggulan hanya dapat dijamin, jika dan hanya jika, daya saing tersebut
bersifat adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan
seiring dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Untuk
dapat mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan,
entitas di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan
sebuah negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau
sering disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan
proses internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui
pembelajaran tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan
sikap atau mental model dari setiap individuÂ
setelah melalui suatu proses pembelajaran tertentu.
Ø Kedua adalah bahwasanya daya saing perlu
diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari kohesivitas
antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara suatu
entitas dengan entitas lainnya.
Hal yang kedua ini menuntut
adanya suatu pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya
saing tidak lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni
saling mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus
pada konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan
justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan
kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing bangsa
yang bersifat komplementer dan non predatorik. Berdasarkan dari dua hal yang
sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan karakter bangsa di era
yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut tiga hal pokok
yaitu:
1. Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu
pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus
melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya.
2. Adapun pembinaan karakter bangsa akan
diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan
daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya
kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat
predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya.
3. Sejalan dengan hal tersebut, maka
pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua
hal pokok di atas.
Karakter positif bangsa yang
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang.
Dalam kaitan ini masyarakat internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang
yang berhasil merebut kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia
ke-2 hanya dua yakni bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi
karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu
dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non
predatorik). Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan makna
pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada
kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan
karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing,
sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang
ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas
secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter
bangsa.
Permasalahan umum dalam pembinaan
karakter Bangsa sebagaimana telah disinggung pada paragraf 2 di atas,
bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang
terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari
internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama
untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya
perubahan (changes) baik bagi individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau
seluruh bangsa ini pada umumnya. Perubahan atau changes inilah yang merupakan
kunci dari adaptifitas daya saing. Pada gambar 2 diberikan suatu formasi ideal
dari proses pembinaan karakter suatu bangsa.
Gambar 2. Tatanan Ideal dalam Proses Pembinaan
Karakter
Umumnya tanpa adanya fitur
adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing
yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau
serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya
bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di
kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara
lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang
bersifat konstan dari perspektif historis perjalanan bangsa tersebut. Barangkali
satu contoh menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks ini adalah
perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan). Bangsa ini, kalau berdasarkan
perspektif historis, tidak atau belum pernah masuk kategori bangsa yang dominan
di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat bahwa Korea umumnya selalu di bawah
bayang-bayang dua negara tetangganya yang sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang
di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di Timur. Namun melalui suatu proses
internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan
adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya
Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di
kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu
Kim (2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous
learning tidak akan memberikan pengaruh apa-apa.
Tanpa disertai adanya kemampuan
untuk berubah atau ability to change. Bahkan menurutnya, proses pembelajaran
barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses perubahan pasca proses
pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir, pola sikap dan
perilaku. Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen,peningkatan
kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya kesanggupan
untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat diimplementasikan secara
lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita .
Gambaran umum yang terjadi adalah
kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni
peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengatahuan. Sedangkan
elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat
terbatas (gambar 3). Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita
mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus
dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan
dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya
masing masing pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan
buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk
menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses
perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan
bangsa. Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan umum dalam
konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk mencapai
suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai
dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah
menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk
sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses
pembelajaran. Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut tidak
mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi juga
menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian,
pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen
pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal
dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan atau
changes dari setiap adanya peningkatan kapasitas pengetahuan yang diperoleh
melalui proses pembelajaran apapun juga adalah hal yang sama pentingnya, atau
bahkan dalam beberapa hal lebih penting, dibandingkan dengan aktifitas
peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri. Pada paragraf berikut akan
diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya dapat dijadikan sebagai
unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa.
2.5 Unsur Pokok Pembangun Kemandirian Bangsa
“
The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its
equipment, its performance is solely dependent on its soldiers.” Douglas
MacArthur, General, US Army, 1945
Penggalan kalimat di atas diambil
dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral
MacArthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan
Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya
menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955).
Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran
sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses
pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas
militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada
hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub
olahraga ringan sampai dengan sebuah negara. Sebenarnya apa yang diungkapkan
oleh Jend. MacArthur di atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad
sebelumnya (1815), kaisar Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon
Bonaparte pernah mengatakan, “Une armée marche à son estomac�? atau
“Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnya�?.
Meskipun oleh banyak pihak penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks
pentingnya unsur logistik dalam suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya
penggalan kalimat ini ikut menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya
adalah faktor manusia) merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau
rantai nilai apapun juga. Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang
sangat krusial, namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak
kalangan masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif.
Beberapa di antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya
pernah ada masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang
pentingnya SDM namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak
sebesar sebagaimana yang diharapkan. Terlepas dari semua hal tersebut, tetap
sumber daya manusia adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus
dimobilisir dan dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson
& Johnson, pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi
ditentukan dari persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya.
Tataran tertinggi adalah ketika
organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa sumber daya manusia
adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari kelangsungan hidup
organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah ketika organisasi
masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari komponen bahan baku
yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja. Permasalahan utama tentunya
adalah mendorong agar pengembangan sumber daya manusia ini sanggup
menghantarkan suatu bangsa mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan.
Dan sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi
menuntut adanya parameter daya saing sebagai satu satunya hal yang penting
untuk menjamin suatu kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju
pada mentalitas daya saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok
yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan
rantai nilai. Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun
kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu:
1. Peran kritis sumber daya manusia sebagai
sumber daya yang terus terbarukan,
2.Peningkatan daya saing dari sumber daya
manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang
berkesinambungan,
3. Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas daya
saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu. Serta
keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan kriteria
dan persyaratan tersebut.
Ketiga aspek penting di atas
perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agents yang akan mengimplementasikannya
di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan agents tersebut tentunya
adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa, karena dalam keadaan dimana
mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka diharapkan mereka dapat
memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi
pengetahuan dan yang terutama adalah menjadi motor penggerak perubahan atau
generator of change. Tanpa adanya hal tersebut, maka selamanya rantai nilai
dari proses pembangunan karakter dalam bentuk apapun tidak akan pernah bergeser
dari tata wacana dan selamanya bangsa ini akan terus berhadapan dengan berbagai
masalah dan apabila bangsa ini lambat dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk
semakin rendahnya daya saing bangsa di jangka panjang serta
semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam mensikapi dinamika
perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini sulit untuk
dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat.
Pada paragraf berikut akan
diulas tentang peran generasi muda dalam meng-engineer atau merekayasa proses
pengembangan daya saing yang diperlukan oleh bangsa ini menuju pada
kemandirian.
2.6 Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri
Secara normatif, dan sebagaimana telah
hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa
merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib
bangsa di masa depan. Selanjutnya, kita juga telah sering mendengar bahwasanya
generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet,
pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan
bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada
sejajar dengan bangsa bangsa lain. Namun pada kenyataannya, pernyataan di atas
sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kita hadapi sekarang
menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia
pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang
sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan
telekomunikasi. Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari
ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung
kepada generasi muda. Walaupun masih belum ada bukti empiris secara langsung
bahwa nilai nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi
generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan
tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang
berpendirian lemah serta sangat mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika
globalisasi; dan pada akhirnya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain.
Gambaran umum, keadaan di atas akan
memberikan pengaruh pada rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan generasi
muda. Meskipun belum nampak secara jelas, akan tetapi harus diakui bahwa saat
ini telah mulai ada gejala dari menurunnya semangat dan rasa kebangsaan atau
nasionalisme
di
kalangan generasi muda yang ditunjukkan dari semakin berkurangnya pemahaman
generasi muda terhadap sejarah dan nilai nilai budaya bangsanya sendiri. Upaya
strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut
adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan
terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya
nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Adapun generasi
muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan tersebut memiliki 3 (tiga) peran
penting yakni:
1. Sebagai pembangun-kembali karakter
bangsa (character builder). Di tengah tengah derasnya arus globalisasi,
kemudian ditambah dengan sejumlah erosi karakter positif bangsa sementara
adanya gejala amplifikasi atau penguatan mentalitas negatif, seperti malas,
koruptif dan sebagainya, maka peran generasi muda adalah membangun kembali
karakter positif bangsa. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya
adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung
nilai-nilai moral di atas kepentingan kepentingan sesaat sekaligus upaya
kolektif untuk menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya
sehari-hari.
2. Sebagai pemberdaya karakter (character
enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika
tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga
dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character
enabler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari generasi
muda untuk menjadi role model dari pengembangan karakter bangsa yang positif.
Peran ini pun juga tidak kalah beratnya dengan peran yang pertama, karena
selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih
dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam suatu ajang konflik etika
dengan entitas lain di masyarakat maupun entitas asing.
3. Sebagai perekayasa karakter (character
engineer) sejalan dengan perlunya adaptifitas daya saing untuk memperkuat
ketahanan bangsa. Peran yang terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus
melakukan pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positif
bangsa, bagaimanapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat
disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai contoh karakter pejuang dan
patriotisme tentunya tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, akan
tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Peran generasi muda
dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena
di tangan mereka-lah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam
kondisi yang paling produktif. Hal yang berat bagi para generasi muda adalah
untuk memainkan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Memang
masih diperlukan adanya peran pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam
memfasilitasi aktualisasi peran tersebut oleh generasi muda. Namun demikian
konsentrasi peran tetap pada generasi muda. Tanpa adanya peran aktif mereka
dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak
mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara
sistematis dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas dan
jati-dirinya.
2.7 Pertumbuhan Ekonomi Menuju Kemandirian Bangsa
Pertubuhan ekonomi tinggi, tenu
berkaitan erat dengan kemakmuran secara ekonomi yang telah dicapai, meskipun
linieritas pertumbuhan ekonomi dengan kemakmuran, kadang terkendala oleh factor
pemerataan perolehan pendapatan masyarakat yang belum merata dan belum
seimbang. Namun telah menjadi sebuah kenyataan, bahwa Negara-negara didunia
sekarang perhatianya terutama tertuju pada bagaiimana cara untuk mempercepat
tingkat pertumbuhan ekonominya. Para ekonom dan politisi dari semua Negara,
baik Negara-negara kaya maupun miskin, yang menganut system kapitalis, sosialis
maupun campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan apa yang
disebut sebagai economic growth (pertumbuhan ekonomi) bagi negaranya.
Pada setiap akhir tahun,
masing-masing Negara selalu mengumpulkan data-data statisticnya yang berkenaan
dengan tingkat pertumbuhan GNP (Gross national product), dan dengan penuh harap
mereka menginginkan munculnya angka-angka pertumbuhan yang membesarkan hati.
Mengejar pertumbuhan ekonomi seakan menjadi target dalam kehidupan ekonomi
semua Negara di dunia dewasa ini. Sperti telah kita ketahui, berhasil tidaknya
program-program pembangunan di Negara-negara dunia ketiga sering dinilai
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan
nasional.
Pertumbuhan ekonomi akan terjadi
apabila ada ada peningkatan produktifitas modal, produkivitas tenaga kerja, dan
investasi.Harapan yang ingin dicapai dari
adanya pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kesejahteraan masyarakat secara
merata. Karena dengan di perolehnya kesejahteraan tadi, maka pertumbuhan
ekonomi secara bertahap mengantar bangsa Indonesia menuju kemandirian dalam
kemakmuran. Ini harus jadi prioritas pembangunan ekonomi nasional yang perlu
mendapat perhatian. Sebab dengan kemandirian ekonomi yang kuat pada giliranya
dapat membangun integritas ekonomi nasional secara martabat diantara kekuatan
ekonomi bangsa-bangsa lain di dunia. Inilah sebenarnya cita-cita luhur
pembangunan ekonomi nasioanl yang berwawasan kebangsaan. Suatu cita-cita dimana
nilai-nilai kebangsaan menjadi basis agregasi kekuatan ekonomi nasional menuju
kemandirian bangsa Indonesia secara terhormat. Realitas perekonomian nasional
kita perlu terus didorong, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak menuju
kemandirian berwawasan kebangsaan. Tidak mudah memang dalam membangun kekuatan
nasional untuk kemandirian ekonomi bangsa ini, namun demikian setidaknya kita
masih punya harapan tentang masa depan perekonomian yang gemilang. Kita perlu
terus berjuang untuk tercapainya cita cita nasional bangsa Indonesia menuju masyarakat
yang adil dan makmur.
Membangun kekuatan nasional
tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme. Kita tidak mungkin
memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani mengokohkan semangat
kebangsaan dengan melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasssi dan
kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah begitu kuat
membendung stagnasi bangsa yang berpredikat depend on to foreign contry. Kemandirian
(self-reliance) menjadi factor sangat penting dalm membangun ekonomi.oleh
karenanya ungkapan kata kemandirian,hendaknya tidak sekedar pada pengertian
kecukupan diri (self-sufficiency) dibidang ekonomi saja,tetapi juga meliputi
factor factor lain, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri
(self-discofery) yang berbasis pada kepercayaan diri
(self-confidence).kemandirian adalah satu sikapyang mengutamakan kemampuan diri
sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai suatu tujuan, tanpa
menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.
Sementara itu dalam pengertian social atau pergaulan antar manusia (kelompok,
komunitas), kemandirian juga bermakna sebagaiorganisasi diri
(self-organization) atau manajemen diri (self-management).
Unsur - unsur tersebut saling
berinteraksi dan melengkapi sehinggamuncul suatu kekuatan keseimbangan. Dalam
konteks kemandirian secara sosial, pencarian pola yang tepat agar interaksi
antar unsure dalam masyarakat dapat saling menopang mengokohkan prinsip
kemandirian perlu terus dijaga untuk mencapai keseimbangan tadi
(kesepadanan/interdependensi). Tanpa adanya sinergitas secara self organizing
and self management yang baik dalam masyarakat, maka pola dasar kemandirian
yang kuat sulit diwujudkan. Setiap keseimbangan yang dicapai dalm mengokohkan
kemandirian akan menjadi landasan bagi perkembangan pola dasar kemandirian
sosial berikutnya. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan terus menerus
tanpa henti.
Dalam kontek pembangunan, sikap
mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan,yakni apakah rakyat atau
masyarakat menjadi lebih mandiri atau malah semakin bergantung, misalnya,
apakah petani kita lebih bebas atau malah semakin bergantung pada basis
industry (seperti pupuk), apakah industri kita lebih bebas atau malah semakin
bergantung pada utang luar negeri. Sebagai implikasi dari saling berkaitannya
unsur-unsur dalam kemandirian, proyek-proyek di bidang ekonomi bagi golongan
miskin harus dirancang secara tepat,
sesuai dengan tingkat keseimbangan yang ada pada mereka. Kemiskinan yang mereka lakoni tidak boleh kita
lihat semata sebagai masalah fisik material melainkan juga harus dilihat sebagai
tantangan atau dorongan bagi hadirnya
harapan baru atau kondisi yang lebih baik. Proyek-proyek yang dilaksanakan
dalam proses pembangunan, harus dapat melibatkan kelompok-kelompokmarginal yang ada. Dengan
kata lain proyek itu harus memungkinkan golongan miskin ikut berpartisipasi,
baik tingkat implementasi maupun tingkat pengambilan keputusan, sehinga meraka
memiliki landasan bagi terbentuknya proses self-management. Agar Indonesia
dapat bersaing di eraglobalisasi, maka
perlu dilakukan suatu perubahan, dari “ketergantungan” menuju “kemandirian”. Di
tengah gencarnya arus globalisasi ekonomi yang membuat posisi Indonesia menjadi
“depend on”, maka hanya ada satu jawaban yaitu ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif
merupakan suatu kegiatan ekonomi dengan serangkaian kegiatan produksi dan
distribusi baik barang atau jasa yang di kembangkan secara kreatif dimana
aktifitasnya sangat berprinsip pada proses penciptaan dan trans saksi nilai.
Aspek sumberdaya manusia atau (talent), teknologi, keberagaman budaya dan pasar yang kritis (critical mass) sangat
penting dalam menjalankan ekonimi kreatif.Peran
generasi muda sangat penting dalam membangun ekonomi kreatif. Generasi muda
yang cenderung think out of the box,
sangat membantu dalam mengembangkan ekonomi kreatif dukungan pemerintah
tersebut dapat berupa penyediaan lahan bantuan permodalan kemudahan birokrasi,
dan penyuluhan atau pelatihan kewirausahaan. Pada gilirannya lambat laun
ekonomikreatif ini dapat melahirkan kemanan dirian Negara Indonesia.
Kemandirian ekonomi telah menjadi tuntutan
politis bagi bangsa Indonesia yang berdaulat. Kemandirian adalah bagian
integral dan makna dari Sebuah kedaulatan itu sndiri. Tidak ada suatu
kedaulatan yang kokoh dan genuine tanpa kemandirian. Apabila kedaulatan
memiliki suatu makna, karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang
mengaku berdaulat itu. Martabat bangsa yang berdaulatdan mereka tidak
tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi
tersubordinasi. Kemandirian bangsa yang berdaulat adalah martabat yang diraih sebagi hasil perjuangan berat dari
ketertaklukan, dari humiliasi
(penghinaan) dan dehumanisasi
(penurunan martabat kemanusiaan) social-politik serta social-kultural. Mencapai
kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati dari bangsa Indonesia. Sebagai
mana dikemukakan oleh muhammad Hatta (Sri Edi Swasono, 5 maret 1998), kemandirian bukan pengucilan diri kemadirian
bias dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam Interdepensi global
dan ekonomi terbuka bangsa Indonesia harus tetap teguh dalam mempertahankan
prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa
asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap
menentukan syarat-syaratnya. Kemandirian bermakna dapat menentukan sendiri apa
yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab
global.
BAB
3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kemandirian adalah hakikat dari
kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan
menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Interpreneur dapat diartikan sebagai
suatu usaha yang dilakukan berdasa kemampuan sendiri dengan menggunakan sumber
daya dan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektifitas. . Krisis
ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia mempengaruhi kehidupan masyarakat,
meliputi tingkat pendidikan,kemiskinan, pengangguran, kualitas kehidupan dan
masalah-masalah lainnya. Pembangunan program pemberdayaan ekonomi rakyat
sementara berhubungan dengan kemitraan yang kondusif antara industri di satu
pihak dan lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan.
Pemerintah perlu melakukan kontrol pada masyarakat yang sedang melakukan usaha
kemandirian
3.2 SARAN
Berdasarkan uraian diatas maka
kemandirian bangsa diatas pranata budaya enterpraneur harus dilakukan dengan
mencari skill yang ada pada masyarakat yang kemudian mencari cara untuk
mengaplikasikan skill tersebut jiak perlu pemerintah melakukan program
pelatihan dan pengembangan yang tentunya kalau bisa disertai modal yang
tinggi. Sehingga kemandirian bangsa dapat berjalan sebagaimana mestinya dan
tentunya harus ada kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar